Mendaki, bagi anak muda di Indonesia kata yang satu ini jadi salah satu tolak ukur…
Ramadhan Pertama di Negeri Gingseng
Di korea selatan, Islam itu adalah agama yang minoritas. Bahkan Korea Muslim Federation mencatat pada tahun 2016 populasi penduduk muslim di Negeri Gingseng tersebut hanya sekitar 145ribu – 160 ribu orang dari 51,25 Juta penduduk Korea Selatan. Dari jumlah tadi sekitar 50ribu orang adalah penduduk asli Korea Selatan sedangkan sisanya adalah Warga Negara Asing. Mengenai agama, di Korea selatan bahkan setengah dari populasi warga negara Korea Selatan tidak memiliki agama. Lalu ketika Ramadhan tiba apakah berbeda rasanya?
Bagi saya mungkin beribadah puasa di bulan Ramadhan di Negara orang sudah tidak asing lagi. Sebelumnya saya pernah menjalankan ibadah ini ketika di Porto, Portugal. Alhasil ketika saya akan menjalankan ibadah ini lagi di Negara yang berbeda, jiwa saya sudah siap 😅 dengan durasi yang agak lebih lama dari Indonesia. Kalau di Korea Selatan saat Summer seperti sekarang, durasi puasa itu sekitar 16 jam, Dimulai dari sekitar jam 3.30 pagi sampai 7.30 malam KST.
Bagi sebagian orang melihat durasi yang lebih Panjang ini kadang-kadang mereka berujar “yang sabar ya!”. Well bagi saya sebenarnya berpuasa di sini bisa dikatakan lebih mudah daripada ketika saya melakukannya di kampung halaman saya di Palu. Bagaimana tidak, walaupun durasinya lebih lama suhu udara di sini (Busan) itu tidak terlalu panas. Bahkan jika di bandingkan dengan Palu, suhu udara di Palu lebih panas dan cenderung membuat saya dehidrasi.
Sebagai contoh, di Busan saya masuk kelas dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore, hampir setiap hari. Namun demikian saya tidak pernah mengalami rasa haus yang parah di bandingkan ketika saya di Palu tanpa melakukan apa-apa. Mungkin akibat tidak melakukan apa-apa jadinya waktu itu serasa lama berlalu.
Bagaimana sih rasanya puasa di Negeri orang?.
Rasanya itu kaya ngga puasa, beneran deh 😅. Kalau misalnya kita di Indonesia penuh dengan warung yang tutup di siang atau mungkin iklan syrup marjan dan ABC yang nongol kesana kemari di TV kita bisa sedikit merasakan kalau ini lagi bulan Ramadhan. Di tambah lagi sekeliling kita semua juga ikut puasa. Kalau di sini, semuanya seperti hari normal, tidak ada nuansa Ramadhan sama sekali. Di jam istirahat kamu akan lihat orang-orang makan berlalu Lalang atau mungkin di saat-saat tertentu teman kamu bakal nawarin makanan. 😅 Kalau udah kaya gini tinggal bilang ”Saya puasa”, lalu mulailah ada yang bertanya apa itu puasa dan apa yang di lakukan selama berpuasa.
Waktu saya jelaskan kalau puasa itu tidak makan dan tidak minum sampai tenggelam matahari, ekspresi wajah beberapa orang itu seperti kaget dan bilang “Kok bisa ya nggak makan dan minum selama itu?”. Bagi mereka itu hal Impossible. Well untungnya mereka paham, jadinya aman-aman saja.
Tentang Menghargai
Eh iya di Sosial media sekarang banyak yang bilang islam di Indonesia itu agak kaku dan suka ngamuk soal orang makan di tempat umum. Ada yang bilang kalau kamu lihat orang makan dan kamu terhasut Iman kamu patut di pertanyakan. Well, bagian ini ada benarnya menurut saya. Tapi, tau tidak kalau teman-teman saya tadi setelah saya bilang kalau saya puasa dan menjelaskan tentang puasa. Malah mereka inilah yang bertanya kepada saya, “Is it okay if I’m eating in front of you?” well “of course!” jawabku lantang.
Dari kejadian ini sebenarnya saya bisa simpulkan orang yang bahkan tidak tau apa-apa tentang ini semua bertanya karena ingin menghargai saya yang sedang puasa. Kalau di Indonesia entah kenapa ini semua di permasalahkan, apa mungkin hanya framing saja ya? Di social media ada yang ngamuk bilang kalau umat islam patut di pertanyakan karena melarang orang makan di depan umum. Dan yang non muslim pun tersinggung. Gitu aja terus gak kelar-kelar.
Soal ini semua sebenarnya soal kesadaran, toh saya rasa di Indonesia aman-aman saja. Warung makan buka di siang hari menurut saya sah-sah saja, karena non muslim di Indonesia juga cukup banyak dan butuh makan kan? Dan seingat saya warung-warung yang buka pun di tutup tirai. Bagi muslim, tidak usahlah meributkan ada orang makan atau tidak di depanmu kalau kamu tergoda ya memang kamu aja yang lemah. Sedang bag non muslim, silahkan sadar diri saja. 😅. Ini lah yang Namanya menghargai, Ini kok jadi ceramah ya? 😅.
Baca Juga : Ramadhan : Tentang Bagaimana Kau Bersyukur
Buka Puasa di Negeri Gingseng
Oke lanjut ke Ramadhan di Busan. Sebenernya saya merasa beruntung di sini. Karena lokasi kampus itu dekat dengan salah satu masjid yang ada di Busan, yaitu masjid Al-fatah kalau jalan kaki itu sekitar 30 menitan. Jadinya hampir setiap kali berbuka puasa saya selalu datang ke masjid, maklum anak rantau.
DI masjid selain kita mendapatkan iftar untuk berbuka, setelah shalat magrib kita dapat pasokan makanan besar 😁. Bagi perantau seperti saya ini seperti rejeki nomplok karena bisa menghemat pengeluaran kan lumayan makan gratis dan enak tiap harinya.
Well tapi saat berbuka di masjid, saya seperti merasakan Buka puasa seperti waktu saya di Porto. Sebagian besar yang datang saat berbuka adalah teman-teman dari negara lain utamanya Pakistan dan Bangladesh. Tapi soal suasana makan, saya jadi ingat waktu masih kuliah S1 di masjid fakultas saya sering makan se-nampan dengan teman-teman di sana. Di sini pun demikian makan se-nampan sampai perut rasanya udah nggak punya space kosong lagi.
Intinya balik lagi ke tulisan saya sebelumnya Ramadhan itu soal gimana kita bisa bersyukur 😁. Kalo nggak Syukur-syukur mau jadi apa kamu?. Jadi kalau menurut kalian puasa itu gimana? Coba tulis di kolom komentar siapa tau kita bisa tukar isi kepala, pikirannya aja tapi ya jangan otaknya 🤣