Mendaki, bagi anak muda di Indonesia kata yang satu ini jadi salah satu tolak ukur…
Tak usah peduli dengan pencapaian orang lain!
Well pagi (Minggu 11 Mar 18), saya bagun pagi disambut udara segar nan dingin. Maklum awal musim semi di Busan masih cukup dingin dan semalam ternyata saya tidak menutup jendela kamar dengan baik. Tak ada yang berbeda pagi ini saya lanjutkan aktifitas sembari membaca buku Kumpulan Kosakata Korea yang wajib saya hafal dan pahami.
Layaknya manusia normal saat ini Gadget sesekali di lihat sambil berharap ada message kalo beasiswa bulan ini udah masuk 😅. Iseng scrolling story Instagram orang, lalu kemudia nemu story Instagram si @amrazing. Kali ini berbeda, yang biasanya lagi travel atau soal keseharian dia story yang ku lihat pagi itu cukup berat. Story itu berawal dengan statement “Kalian suka gak pede liat pencapaian orang lain? Seperti, Si A udah punya A-Z sementara kita masih begini-gini aja, stuck dan sedih.” Dengan tambahan pertanyaan “What did you do when you are in this situation? #letstalkabout : Insecurities!” tulisnya.
Membaca puluhan slide story pendapat dia serta beberapa pendapat pengguna Instagram lainnya saya pun tersadar. Kita di dunia sebagai manusia selalu saja merasa insecure atau dengan kata lain tidak percaya diri, merasa lemah dan bahkan mungkin kadang-kadang merasa kita tidak punya apa-apa di bandingkan orang lain. Kalau kata saya “Apalah aku, bagaikan serpihan rengginang yang tertinggal di kaleng biscuit Khong Guan, yang mungkin tidak akan di lirik orang”.
Beberapa orang yang mengalami Insecure bahkan sampai berfikiran ingin bunuh diri. Bahkan menurut @amrazing dia pernah merasa bagaikan seongok sampah yang tak berguna yang kalau matipun, nggak ada yang peduli. Sebenarnya saya pun kadang-kadang punya perasaan demikian. Saat melihat prestasi dan pencapaian teman dan mungkin orang lain. Prilaku membanding-bandingkan ini mungkin juga dipicu oleh orang tua kita di beberapa kasus misalnya orang tua suka membandingkan anak-anaknya semisal
“Lihat tuh kakak kamu juara kelas terus!”.
“Kamu nggak malu sama adik kamu yang pintar ini itu?”.
Lalu “Anak temen papa udah dapat kerja, kamu nggak bosan nganggur?”
atau yang lagi ngetrend sekarang di lingkungan saya “Udah umur segini punya pacar aja enggak. Tuh temen kamu malah udah punya anak!”.
Saya pun di rumah sering mendapatkan perlakuan seperti itu, bahkan adik saya pun kadang-kadang di bandingkan dengan saya atau teman-temannya. Jujur saya pernah berontak dan bilang “Kalau memang malu dengan kami, saya siap angkat kaki dari rumah asal tidak lagi buat malu”. Orang tua kita kadang lupa kalau setiap orang punya skill, hobi, dan bahkan kepribadian setiap orang pun itu berbeda.
Baca Juga : Apa salahnya jomblo?
Banyak orang pula yang mengabaikan setiap orang punya jalur sukses yang berbeda, serta daya tahan yang berbeda dan yang terpenting membandingkan pencapaian itu nggak akan membawa kita kemana mana malahan akan stress, dengki, iri dan bahkan depresi. Di kampus misalnya, banyak orang yang membandingkan “Tuh si A cepat selesai, kamu masih di sini sini aja!”, pada kasus ini saya pun suka bertanya tanya, namun saya tidak mau menghakimi seseorang. Kalau seseorang itu teman saya saya akan coba menanyakan masalahnya di mana dan coba meberikan solusi.
1 2